Selasa, 14 September 2021

Biografi KH. Ahmad Baha'uddin Nursalaim ( Gus Baha')


K.H. Ahmad Bahauddin, lebih dikenal sebagai Gus Baha[1] (lahir 29 September 1970), merupakan ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari Rembang. Ia dikenal sebagai salah satu ulama ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur'an. Ia merupakan salah satu murid dari ulama kharismatik, Kiai Maimun Zubair.

Gus Baha merupakan putra dari seorang ulama pakar Al-Qur’an dan juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA, Kiai Nursalim al-Hafizh, dari Narukan, Kragan, Rembang.

Kiai Nursalim merupakan murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Mergoyoso, Pati. Nasabnya bersambung kepada para ulama besar. Bersama Kiai Nursalim, KH Hamim Jazuli (Gus Miek) memulai gerakan Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang menyelenggarakan kajian Al-Qur’an secara keliling.

Jantiko kemudian berganti Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto), lalu berubah jadi Dzikrul Ghafilin. Kadang ketiganya disebut bersamaan: Jantiko-Mantab dan Dzikrul Ghafilin.

Dari silsilah keluarga ayah, Gus Baha’ merupakan generasi ke-4 ulama-ulama ahli Al-Qur'an. Sedangkan dari silsilah keluarga ibu, Gus Baha menjadi bagian dari keluarga besar ulama Lasem, dari Bani Mbah Abdurrahman Basyeiban atau Mbah Sambu.

Keluarga

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sarang, Gus Baha’ menikah dengan seorang anak Kiai yang bernama Ning Winda pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Ada cerita menarik dengan pernikahan beliau. Jadi sebelum lamaran, Gus Baha’ menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu. Beliau mengutarakan bahwa kehidupan beliau bukanlah model kehidupan yang glamor, melainkan kehidupan yang sangat sederhana. Beliau berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berpikir ulang atas rencana pernikahan tersebut. Tentu maksud beliau agar mertuanya tidak kecewa di kemudian hari. Namun mertuanya hanya tersenyum dan mertuanya hanya mengatakan "klop" alias sami mawon kalih kulo (sama saja dengan saya).

Kesederhanaan Gus Baha’ dibuktikan saat beliau berangkat ke Pondok Pesantren Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan waktunya. Gus Baha’ berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus kelas ekonomi. Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil. Setelah menikah, Gus Baha’ mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya. Gus Baha’ menetap di Yogyakarta. Selama di Jogja, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya.[5]

Semenjak Gus Baha’ menetap di Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan. Hingga pada akhirnya mereka menyusul Gus Baha’ ke Yogya dan urunan atau patungan untuk menyewa rumah di dekat rumah beliau. Tiada tujuan lain selain untuk tetap bisa mengaji kepada beliau. Ada sekitar 5 atau 7 santri mutakhorijin al-Anwar maupun MGS yang ikut ke Yogya. Saat di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar rumah Gus Baha’ yang akhirnya minta ikut ngaji kepada beliau.

Keilmuan

Sebagai seorang santri tulen, yang berlatar belakang pendidikan non-formal dan non-gelar, Gus Baha' diberi keistimewaan untuk menjadi sebagai Ketua Tim Lajnah Mushaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.[9] Gus Baha' duduk bersama para Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur'an dari seluruh Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.[10]

Pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa kedudukan Gus Baha' di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai mufassir, juga sebagai mufassir faqih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam al-Qur'an. Setiap kali lajnah menggarap tafsir dan mushaf al-Qur'an menurut Prof. Quraisy, posisi Gus Baha’ selalu di dua keahlian, yakni sebagai mufassir seperti anggota lajnah yang lain, juga sebagai Faqihul Qur'an yang mempunyai tugas khusus mengurai kandungan fikih dalam ayat-ayat ahkam Al-Qur'an

Teladan

Teladan yang bisa ditiru dari Gus Baha' adalah tentang kesederhanaanya. Kesederhanaan yang dipraktikan Gus Baha’ bukan berarti keluarga Gus Baha’ adalah keluarga yang miskin, karena kalau dilihat dari silsilah lingkungan keluarganya, tiada satupun keluarganya yang miskin.

Bahkan kakek Gus Baha’ dari jalur ibu merupakan juragan tanah di desanya. Saat dikonfirmasi oleh penulis perihal kesederhanaan beliau, beliau menyatakan bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur'an yang dipegang erat oleh leluhurnya. Ada salah satu wasiat dari ayahnya yang mengatakan agar Gus Baha' menghindari keinginan untuk menjadi manusia mulia. Hal inilah yang hingga kini mewarnai kepribadian dan kehidupan beliau sehari-hari

Karya

1. حفظنا لهذا المصحف لبهاء الدين بن نور سالم

Kitab ini adalah kitab yang ditulis oleh Gus Baha’ yang menjelaskan tentang rasm Usmani yang dilengkapi dengan contoh dan penjelasan yang disandarkan pada kitab al-Muqni' karya Abu 'Amr Usman bin Sa'id ad-Dani (w. 444 H.). Kitab ini berguna bagi siapapun untuk mengetahui bagaimana memahami karakteristik penulisan al-Qur’an di dalam mushaf rasm Usmani.

2. Tafsir al-Qur an versi UII dan al-Qur’an terjemahan versi UII Gus Baha' (2020). Salah satu ciri khas tafsir dan terjemahan UII yang ditulis oleh Gus Baha' dan timnya adalah tafsir ini dikontekstualisasikan untuk membaca Indonesia dan dengan rasa Indonesia. Tafsir dan terjemahan UII ini sama sekali tidak mengubah dari keaslian al-Qur’an itu sendiri

Referensi

 http://www.mahadalyjakarta.com/gus-baha-ahli-tafsir-didikan-ulama-nusantara/

 Rifa'i, Thomi (25 September 2020). "Gus Baha, Profil Kyai Ideal Jebolan Pondok Pesantren Salafiyah Yang Inspiratif". Indo Politika. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

 Budi (25 Agustus 2020). "Biografi Gus Baha' (KH. Ahmad Bahauddin Nursalim)". Laduni. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

 Garjito, Dany (20 Agustus 2020). "Profil Gus Baha, Sang Ulama Kharismatik". Suara. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

 Yahya, Iip D (14 Februari 2019). "Kisah Gus Baha: Nasab, Perkawinan hingga Karier Intelektual". Alif. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

 Redaksi (1 Juli 2020). "Biografi Gus Baha, Ulama Berilmu Tinggi dengan Penampilan yang Sederhana". Nusadaily. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

 Redaksi (20 Agustus 2020). "Profil Gus Baha, Sang Ulama Kharismatik". IJN. Diakses tanggal 31 Desember 2020.[pranala nonaktif permanen]

 Abdurrahman, Syarif (16 November 2020). "Rahasia Mbah Moen Didik Gus Baha". NU Online. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

 Soleha, Marisa (26 Juli 2019). "Mengenal Lebih Dekat Sosok Gus Baha, Serta Biografi Lengkap Gus Baha Nursalim". Tokoh. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

 Redaksi (4 Mei 2019). "Biografi Intelektual Gus Baha' Nursalim Rembang". Duta Islam. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

 Siregar, Rusman H (20 Desember 2020). "Filosofi Hidup Gus Baha yang Jarang Diketahui Orang". Koran Sindo. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

 Redaksi (16 Juni 2020). "Profil Gus Baha'". Forum Muslim. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

 Mustar (25 Juni 2020). "Gus Baha, Manusia Kitab Abad Ini dan Santri Kesayangan Mbah Moen". Go Muslim. Diakses tanggal 31 Desember 2020.

Rabu, 04 Agustus 2021

BIOGRAFI KH. MUHAMMAD SHOLEH

A. Latar Belakang Keluarga 


Pada umumnya, seorang Kiai itu merupakan keturunan dari keluarga Kiai baik itu keturunan dekat maupun keturunan jauh. Dari unsur keturunan itu, manusia dapat mencapai derajat yang lebih tinggi dan menjadi ulama yang besar. Akan tetapi tidak semua anggapan tersebut benar, karena seseorang yang bukan dari keturunan kiai pun bisa menjadi Kiai asal memiliki ilmu pengetahuan agama Islam yang tinggi. 
Begitulah yang terjadi pada sosok KH. Muhammad Sholeh, yang merupakan salah satu Kiai besar yang bukan berasal dari keluarga Kiai dan bahkan tidak memiliki keturunan Kiai. 

KH. Muhammad Sholeh adalah kiai sekaligus ulama dari desa Talun, Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro. Pendiri dan pengasuh pondok pesantren ini dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang alim, tawadhu’ dan bersahaja. Kepribadian yang tercermin dari dirinya inilah yang membuat beliau menjadi sosok ulama’ yang dita’zimi oleh setiap orang yang pernah bertemu dengannya.22

Muhammad Sholeh adalah putra kedua dari sembilan bersaudara yang lahir dari pasangan suami istri syarqowi bin syuro dan kuning. Beliau lahir pada 20 pebruari 1902 M. Kesembilan bersaudara tersebut adalah Ya’qub, Muhammad Sholeh, Siti Khatimah, Syamsuri, Khusnan,  Thohiroh, Muslih, Ummi Kultsum, dan Mukri.23 Dari kesembilan anak tersebut, KH. Muhammad Sholehlah yang paling menonjol diantara saudara yang lainnya. Beliau diberi nama Sholeh, dengan nama itu diharapkan semoga akhirnya menjadi orang shaleh, berbakti pada orang tua, berguna bagi masyarakat dan agama.24 Sejak usia 10 tahun, Muhammad Sholeh dan Syamsuri diminta oleh pamannya yang bernama haji Idris, haji Idris adalah adik dari Syarqowi, karena waktu itu haji Idris dan  Mursiah istrinya  tidak mempunyai anak, maka Muhammad Sholeh dan Syamsuri diasuh sekaligus dijadikan sebagai anak angkatnya.25 Sejak saat itu pula

Muhammad Sholeh mulai belajar membaca al-Qur’an.26 Menginjak usia 12 tahun tepatnya pada tahun 1914 Muhammad Sholeh belajar kepada kiai Umar, yang waktu itu menjabat sebagai naib di Sumberrejo. Pada tahun berikutnya 1915 Muhammad Sholeh meneruskan belajarnya dengan mondok di Kendal Dander, di pondok pesantren yang di asuh oleh kiai Basyir dan kiai Abu Dzarrin, selama kurang lebih delapan bulan.

Pada tahun 1916, Muhammad Sholeh pindah ke Madrasatul ‘Ulum di Bojonegoro selama kurang lebih empat tahun, di kawasan Masjid Besar yang juga diasuh oleh kiai Basyir Kendal yang waktu itu harus pindah ke Bojonegoro karena di angkat menjadi penghulu hakim oleh pemerintah. Di Madrasatul ‘Ulum tersebut Muhammad Sholeh belajar ilmu fiqih dengan mengkaji kitab-kitab seperti: sullam taufiq, fathul qorib, dan fathul mu’in, serta ilmu nahwu dengan mengkaji kitab-kitab seperti: al-Jurumiyah hingga Alfiyah dan tidak ketinggalan pula ilmu shorof dan lain-lainnya.

Selama belajar disana beliau setiap hari pulang pergi dengan naik kereta.  Selain itu Muhammad Sholeh juga sempat belajar pada kiai Kholil Bangkalan Madura. 

Selanjutnya pada tahun 1921, Muhammad Sholeh melanjutkanbelajarnya dengan mondok di Maskumambang Dukuh Gresik, di pesantren yang diasuh oleh kiai haji Faqih bin kiai haji Abdul Jabar. Pada tahun 1923, saat berusia 21 tahun beliau menunaikan ibadah haji yang pertama dan berencana mondok di Makkah selama dua tahun. Namun, baru delapan bulan disana ternyata ada hambatan. Kota Makkah yang sewaktu itu dipimpin oleh Syarif Husain, mendapat serangan dari raja Saud.

Akhirnya Muhammad Sholeh pun kembali ke Jawa, dan meneruskan mondok di Maskumambang Gresik. Pada pertengahan tahun 1924, beliau diambil menantu oleh kiai haji Faqih, untuk dinikahkan dengan keponakannya sendiri, Rohimah binti kiai haji Ali. Setelah menikah, pada tahun 1927 Muhammad Sholeh dan istrinya pulang ke Talun. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua orang anak, yaitu Sahal Soleh dan Anisah.

Meski sudah dipersiapkan tempat untuk mengajar tapi sepulang dari pondok pada tahun 1927 haji Muhammad Sholeh tidak langsung mengajar sebab beliau diserahi oleh haji Idris (ayah angkat beliau) untuk membantu mengatur dan mengurusi rumah tangga haji Idris. Karena waktu itu haji Idris mengalami musibah sakit mata sampai tidak bisa melihat (buta). Waktu itu haji Muhammad Sholeh belum berpengalaman dalam mengurusi rumah tangga, juga belum punya pekerjaan sekaligus harus memikul beban tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Pada tahun1933 setelah kehidupan rumah tangga dan kehidupan keluarga tertata, maka haji Muhammad Sholeh dengan penuh percaya diri disertai ikhtiar sepenuh hati dan sekuat tenaga serta permohonan pertolongan Allah SWT, mulai memikirkan dan merintis kegiatan mengajar anak-anak dan bertempat di mushalla. Mulai dari baca al-qur’an, tulis menulis arab, cara beribadah yang memenuhi syarat dan rukun, dan sebagainya yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat ashar hingga ba’da shalat isya’. Kegiatan ini beliau lakukan seorang diri dengan penuh keuletan, ketlatenan, kesabaran dan keikhlasan. Selain aktif mengajar, sehari-hari beliau juga berdagang dengan membeli tanah dan mendirikan toko disebelah barat sungai Talun. Di toko tersebut haji Muhammad Sholeh menjual palawija, tikar, serta barang-barang kebutuhan masyarakat yang beliau beli dari pasar sumberrejo. Jadi setiap pagi beliau berjualan, sementara siang dan malam harinya mengajar di pesantren.32

Kiai haji Muhammad Sholeh dalam kesehariannya termasuk orang yang tidak banyak bicara, ramah, suka menolong keilmuannya tinggi dan di hormati orang. Beliau mempunyai prinsip harus berbuat baik pada orang lain dan tidak mau mempunyai musuh. “Nek pengen diapik’i wong yo kudu ngapik’i wong” (kalau ingin orang lain berbuat baik pada kita, kita juga harus berbuat baik pada orang lain). Itulah salah satu dari prinsip yang beliau pegang dan diantara pesan beliau pada santri-santrinya.  Kiai haji Muhammad Sholeh juga rutin dalam mengimami sholat fardhu lima waktu setiap harinya. Bahkan sampai usia senja pun beliau masih tetap aktif. Kiai haji Muhammad Sholeh juga tidak pernah ikut thariqat. Karena bagi beliau mengajar itu sudah termasuk thariqat.34 Beliau juga tidak suka membedakan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat, tidak melarang orang punya jabatan, yang terpenting bisa diarahkan kepada kepentingan akhirat.

Pada tanggal 20 Januari 1934, istri kiai haji Muhammad Sholeh, nyai Rohimah meninggal dunia di Talun dan dimakamkan di dusun Sidayu Gresik. Saat itu anak keduanya, Anisah, baru berusia 16 bulan. Beberapa tahun setelah ditinggal wafat istrinya, kiai haji Muhammad Sholeh menikah lagi dengan Mukhlisoh (janda kiai haji Mahbub), ibu dari haji Badawi, Jombang. Pada tahun 1976 kiai haji Muhammad Sholeh menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kalinya disertai nyai Mukhlisoh. Namun pernikahan kedua ini belum sampai dikaruniai anak karena nyai Mukhlisoh terkena sakit dan akhirnya wafat pada 18 Pebruari 1992, tak lama kemudian pada tanggal 26 Juni 1992, kiai haji Muhammad Sholeh juga menyusul wafat.35 Beliau dimakamkan bersebelahan dengan dengan istrinya Nyai Mukhlisoh. Suasana duka, sedih dan tangis menyelimuti kediaman beliau dan seluruh keluarga besar pondok pesantren At-Tanwir serta masyarakat talun pada umumnya. Sosok yang dikagumi kini telah pergi untuk selama-lamanya. Meskipun demikian, KH. Muhammad Sholeh akan senantiasa ada didalam hati para santri dan menjadi panutan para santri yang pernah belajar dengan beliau. Segala tingkah laku yang beliau cerminkan dalam kehidupan sehari-hari patut dijadikan inspirasi bagi setiap orang yang pernah mengenalnya. 

KH. Muhammad Sholeh adalah sosok suri tauladan yang baik dan menginspirasi baik keluarga besarnya, santri At-Tanwir, dan terlebih lagi bagi masyarakat desa Talun itu sendiri.

B. Karir Pendidikan

Pendidikan adalah faktor dominan sebagai pembentuk pribadi seseorang. Dengan pendidikan yang baik maka akan tumbuh pribadi yang baik pula. Pendidikan yang telah dilalui oleh seseorang akan mempengaruhi kepribadian orang tersebut. Seorang anak kecil akan memulai pembelajaran dari orang tuanya dulu baru setelah menginjak masa kanak-kanak dan remaja mereka belajar banyak hal baik dari orang tua, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan belajar pula dengan seorang guru. Seperti disebutkan diatas dalam bidang pendidikan kiai haji

Muhammad Sholeh sejak kecil (umur 10 tahun) sudah mulai di ajari oleh ayah angkatnya haji Idris belajar membaca al-Quran serta ilmu agama terutama bagaimana Islam mengatur kehidupan sehari-hari manusia. Hal ini tentu berkaitan dengan ajaran kemanusiaan, moral, dan budipekerti.

Menginjak usia remaja tepatnya pada tahun 1914 kiai haji Muhammad Sholeh semakin menunjukkan minat dan bakat serta ketertarikannya terhadap ilmu agama. Kehausan beliau tentang ilmu agama membuat beliau belajar kepada kiai Umar, yang waktu itu menjabat sebagai naib di Sumberrejo.

Dirasa sudah cukup belajar dengan kiai Umar, pada tahun berikutnya tepatnya tahun 1915 beliau meneruskan belajarnya dengan mondok di Kendal Dander, di pondok pesantren yang waktu itu di asuh oleh kiai Basyir dan kiai Abu Dzarrin. Beliau mondok di pesantren tersebut selama kurang lebih delapan bulan.

Pada tahun 1916, Muhammad Sholeh pindah ke Madrasatul ‘Ulum di Bojonegoro selama kurang lebih empat tahun, di kawasan Masjid Besar yang juga diasuh oleh kiai Basyir Kendal yang waktu itu harus pindah ke Bojonegoro karena di angkat menjadi penghulu hakim oleh pemerintah.  Di Madrasatul ‘Ulum tersebut Muhammad Sholeh belajar ilmu fiqih dengan mengkaji kitab-kitab seperti: sullam taufiq, fathul qorib, dan fathul mu’in, serta ilmu nahwu dengan mengkaji kitab-kitab seperti: al-Jurumiyah hingga Alfiyah dan tidak ketinggalan pula ilmu shorof dan lain-lainnya.

Selama belajar disana beliau setiap hari pulang pergi dengan naik kereta. Selain itu menurut keterangan dari keluarga kiai haji Muhammad Sholeh juga sempat belajar pada kiai Kholil Bangkalan Madura. Selanjutnya pada tahun 1921, kiai haji Muhammad Sholeh melanjutkan belajarnya dengan mondok di Maskumambang Dukuh Gresik, di pesantren yang diasuh oleh kiai haji Faqih bin kiai haji Abdul Jabar. Beliau juga pernah belajar di Makkah, Namun kiai haji Muhammad Sholeh belajar disana hanya sekitar 8 bulan, karena situasi di Makkah sudah tidak kondusif akhirnya beliau pulang ke tanah air dan kembali mondok di Maskumambang Gresik. Setelah dirasa cukup belajar dari beberapa guru di pondok tersebut. Serta setelah kehidupan rumah tangganya tertata. Tepatnya pada tahun 1933 kiai haji Muhammad Sholeh mulai mengamalkan ilmunya dengan mengajar anak-anak di Mushalla. Pada tahun itupula dikenang sampai saat ini sebagai tahun berdirinya Pondok Pesantren At-Tanwir.37

Setelah berhasil mendirikan pondok pesantren At-Tanwir kiai haji Muhammad Sholeh tidak berhenti belajar. Beliau aktif mengikuti beberapa perkembangan informasi seperti siaran radio dari luar negeri, seperti: ABC Australia, BBC London, VOA amerika untuk mendapatkan beberapa informasi.

Selain itu kiai haji Muhammad Sholeh juga terus mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan sampai akhir hayatnya. Setiap harinya beliau terus tekun belajar dengan banyak membaca kitab-kitab karangan ulama besar ternama sebelum beliau. Kemudian dari hasil membaca tersebut beliau rangkum menjadi sebuah risalah atau kitab-kitab yang bisa kita baca dan ambil manfaatnya sampai saat ini.

C. Karir Organisasi

Dalam hal berorganisasi ada beberapa kegiatan organisasi yang pernah kiai haji Muhammad Sholeh ikuti diantaranya: Pada masa Indonesia masih di kuasai Jepang, pada tahun 1943, kiai haji Muhammad Sholeh mengikuti Musyawarah Besar Alim Ulama’ sejawa di Jakarta. Pada tahun 1946, setelah Indonesia merdeka (zaman Revolusi), kiai haji Muhammad Sholeh terpilih menjadi Camat (Asisten Wedono) Sumberrejo yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui perwakilan partai politik yang ada di setiap desa dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan. Pada masa itu wilayah kecamatan Sumberrejo terdapat tiga partai politik besar yaitu: Parta Nasional Indonesia (PNI), Partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam pencalonan camat Sumberrejo waktu itu muncul dua calon yaitu: kiai haji Muhammad Sholeh dari Partai Masyumi dan Soejito dari PKI. Dari hasil pemilihan ternyata kiai haji Muhammad Sholeh memperoleh suara terbanyak, meraih kemenangan mengalahkan calon dari PKI. Dengan demikian, maka kiai haji Muhammad Sholeh diangkat menjadi camat Sumberrejo pada tahun 1946. Namun jabatan tersebut hanya beliau pegang selama dua tahun. Beliau mengajukan permohonan berhenti sebagai camat dan permohonan beliau dikabulkan, dengan alasan sangat berat meninggalkan tanggung jawab sebagai guru agama di pesantren.

Maka pada tahun 1948 diberhentikan dengan hormat dan mendapat tanda penghargaan. Beliau juga pernah menjadi anggota Mukhtasyar Nahdlatul Ulama’ Cabang Bojonegoro, sebagai bendahara Partai Masyumi anak Cabang Sumberrejo.

D. Karya-Karyanya

KH. Muhammad Sholeh dikenal sebagai pribadi yang aktif. Di sela-sela aktifitas keseharian beliau yang begitu padat, beliau selalu menyempatkan diri pada waktu luangnya untuk membaca. Buku yang beliau baca kebanyakan adalah kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama sebelumnya. Beliau melakukan kegiatan membaca buku atau kitab-kitab dimalam hari, setelah memberikan tausiyah dan belajar al-Qur’an dengan para santri. Kegemaran membaca inilah yang akhirnya mengantarkan beliau menjadi penulis. Dari ilmu-ilmu yang beliau peroleh dari belajar, membaca kitab, beliau menulis dan mengarang. Hingga akhirnya menjadi risalah atau kitab-kitab yang bisa kita baca dan kita pelajari hingga saat ini. Kitab/risalah yang beliau karang pada saat itu, menjadi acuan dalam pembelajaran di Pondok Pesantren At-Tanwir. Kitab-kitab tersebut setiap malam dikaji oleh para santri dengan didampingi pengasuh pondok pesantren At-Tanwir yang sekarang yaitu KH. Fuad Sahal yang merupakan cucu KH. Muhammad Sholeh.

Diantara kitab-kitab yang telah beliau susun adalah: Risalatu Zadi

al-Muta’allimi, Risalatu Hujjati al-Mu’minin fi al-Tawassuli, Risalatu alShafiyah fi al-Masail al-Fiqhiyah, Risalatu al-Solawat ‘ala Sayyidi alShadad, Risalatu Shu’aybi al-Iman, Risalatu Nazomi Jauwhari al-adab, Risalatu Khulqi al-Kirom Wa Shifa’i al-‘Ajsami, Risalatu al-Tadhkiroti, Fathu al-Jalil fi Fadoil al-Dhikri Wa al-Tahlil, Naylu al-Surur fi ba’di Fado’ili al-Shuhur, Risalatu Mudhakaroti Khutbati al-‘Idi. Dan masih banyak lagi tulisan beliau yang belum terpublikasikan. Karena keterbatasan peneliti, dari beberapa karya tulis kiai haji Muhammad Sholeh tersebut peneliti hanya akan menjelaskan beberapa karya tulis beliau yang dapat diperoleh dan dipahami oleh peneliti,

diantaranya:

1. Al-Risalatu al-Shafiyah fi al-Masa’il al-Fiqhiyah

Suatu kitab yang selesai beliau susun pada tahun 1396 Hijriah (1975 Masehi). Kitab ini merupakan kumpulan dari pertanyaanpertanyaan masyarakat kala itu kepada beliau kemudian pertanyaanpertanyaan tersebut beliau tulis serta jawab, dan dari tulisan dan jawabannya tersebut kemudian dikumpulkan menjadi satu hingga menjadi kitab ini. Dalam kitab ini dibahas tentang masalah-masalah syari’at atau fiqh yang terjadi di masyarakat pada waktu itu. Diantaranya tentang bagaimana hukum sholat jum’at orang yang tidak berkewajiban sholat jum’at, boleh tidak menyolati jenazah dikuburannya, bagaimana hukum menyolati orang yang mati karena bunuh diri, dan lain sebagainya. Dalam menjawab masalah-masalah tersebut beliau selalu mencantumkan hadist serta kitab yang beliau jadikan acuan.

2. Risalatu Khulqi al-Kirom Wa Shifa’i al-‘Ajsami

Suatu kitab yang selesai beliau susun pada tahun 1406 Hijriah (1985 Masehi). Dalam kitab ini beliau menjelaskan tentang sebagian dari beberapa budi pekerti luhur yang pada masa-masa ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum. Beliau mengambil dari beberapa kitab karangan para ulama’ sebelum beliau serta hadist-hadist yang pernah beliau baca dan pelajari.

Selain membahas tentang beberapa budi pekerti yang luhur seperti tersebut diatas, dalam kitab ini juga menjelaskan tentang tata cara ruqyah syar’iyah serta dalil hukum yang membolehkan dan

mengharamkan melakukannya.

3. Naylu al-Surur fi Ba’di Fado’ili al-Shuhur

Suatu kitab yang selesai beliau susun pada tahun 1409 Hijriah (1988 Masehi). Dalam kitab ini beliau menerangkan tentang fadiylahfadiylah/faedah-faedah bulan-bulan tertentu seperti bulan Muharram, bulan Rajab, bulan Sha’ban, bulan Ramadhan, bulan Shawal, dan bulan Dhilhijjah serta amalan-amalan yang baik atau sunnah dilakukan pada bulan-bulan tersebut.

Dalam menyusun kitab ini beliau mengambil dari beberapa kitab karangan para ulama’ sebelum beliau serta hadist-hadist yang pernah beliau baca dan pelajari. Kemudian beliau mencatumkan kitab serta hadis-hadist tersebut dalam karya ini.

4. Fathu al-Jalil fi Fadoili al-Dhikri Wa al-Tahlil

Suatu kitab yang selesai beliau susun pada tahun 1409 Hijriah (1988 Masehi). Dalam kitab ini beliau menjelaskan tentang dalil-dalil mengamalkan tahlil- dan dhikir. Selain itu juga dijelaskan manfaatmanfaat yang bisa diperoleh ketika mengamalkannya. Dalil-dalil yang beliau cantumkan dalam kitab ini berupa hadist-hadist serta beberapa kitab yang dikarang oleh ulama sebelum beliau, seperti kitab Bulughul al-Marom, al-Jaami’ al-Soghir, dan lain sebagainya

 

Sumber : http://digilib.uinsby.ac.id

Biografi KH. Mohammad Sholeh

Rabu, 20 Januari 2021

Biografi Imam Syafi'i - AWARA

     SIAPAKAH IMAM SYAFII AWARA ITU??????



Tentunya tak semua orang bisa mengetahui siapakah bliau adanya. itu karna bliau trtutup oleh keterbatasan keadaan yg kala itu memang teramat sulit untuk bisa meroket dan mempublikasi di negri ini.. 

Sebuah kota kecil sederhana yg di apit oleh 2 buah kota yaitu sitobondo dan jember. sedangkan kota kecil ini ada di tengah2nya. adapun kota kecil dan damai ini bernama BONDOWOSO yg terkenal sejak dulu kala sbg kota industri tape dg simbol monumen GERBONG MAUT-nya yg sejarahnya tlah tertera dlm sebuah buku sejarah dunia yg juga telah melegenda di hati rakyat.

Pengalaman dlm menyanyikan sebuah lagu bagi seorang putra bondowoso ini tidaklah begitu sulit, sejak kecil bakat besarnya telah nampak di mata orang sekelilingnya dan tak semua orang mampu menyamainya dlm hal bernyanyi bahkan menciptakan lagu2 sejak usia 10th. bukan hanya yg punya gelar dan nama saja yg mampu dan memiliki bakat besar, tapi seorang imam syafii juga mampu dan bisa setara dg yg telah lebih dulu muncul di blantika musik dangdut indonesia. dan tak sedikit pula teman dan para sahabatnya sukses ke jalur pusat jakarta menjadi seorang senior2 musik dangdut indonesia...sampai kini.

Imam syafii tepatnya lahir di jantung kota bondowoso, 1951. kala masih duduk di sekolah dasar, dia begitu akrab dan dekat dg para guru. dia begitu rajin dan tak pernah banyak tingkah spt yg lain. dia baik dan dekat dg semua orang siapapun jua. sifat bersahaja dan apa adanya inilah yg membuat semua org menyayanginya, apalagi kala itu dia hidup penuh kesederhanaan.

Walaupun dia bukan keturunan darah biru, namun di cintai dan di hormati oleh semua orang. di mana ada imam syafii, di sana orang berkumpul karna merasa memiliki dan sangat menyayanginya. ternyata bakat besar yg ada dlm jiwanya secara perlahan mulai tumbuh dan tumbuh. hingga suatu hari dia sempat di tegur oleh gurunya karna ketahuan membawa gulungan karet kecil yg di ikat di lobang2 bangku sekolah tmpat dia duduk. kemudian karet2 itu  dia jadikan gitar2an smpai menghasilkan bunyi yg begitu sempurna walaupun dari sebuah kumpulan karet gelang. itu yg membuat gurunya datang mendekati imam syafii karna merasa ada yg aneh dan blm pernah terdengar bunyi yg begitu indah. ternyata guru2nya tercengang melihat hasil rakitan imam syafii yg sgt sederhana dan tak masuk akal itu. sejak saat itulah imam syafii menjadi perhatian khusus di hati guru2nya sampai terucap kata dari salah seorang gurunya yg begitu menyayanginya : "semoga kau menjadi orang besar nantinya nak. bapak sudah bisa menerka bahka kamu kelak akan menjadi orang besar yg akan bisa mengukir nama kotamu ini dg sebuah prestasi dan bakat besarmu nanti". sambil matanya berkaca2 melihat imam syafii kecil yg begitu sederhana itu sambil telapak tangannya membelai rambut imam syafii kecil tanpa di sadarinya.

Tahun berganti tahun, ternyata apa yg di prediksi orang akan sosok imam syafii ini ternyat benar adanya. dia muncul sbg wajah baru di dunia musik dangdut dg ciri khasnya yg memang tak sama dg yg lain. perjuangan dari nol mulai di rintisnya.bahkan sering tdk di bayar oleh ketua2 orkes kala itu. namun berkat kerja kerasnya dan gigihnya perjuangan imam syafii tanpa memandang bayaran dan pamrih, ternyata allah mendengrkan doa dari seorang hamba nya. imam syafii menjelma menjadi seorang musisi handal dan lihat dlm skil2 permainan mandolinnya yg jadi andalan dan di kenal oleh kawan dan lawan mainnya kala itu. hingga pd suatu hari di probolinggo mengadakan kontes permainan mandolin se-jawa timur. tak ketingalan pula imam syafii turut di hadirkan dan di daftarkan oleh pimpinan orkesnya sendiri SYAFII JEMBER OM.SELENDANG DELIMA. tak pernah ada ambisi sedikitpun di hatinya tuk menjadi yg terbaik. krn dia sadar bahwa ambisi itu akan menghancurkan jalan hidupnya sndiri kelak. jadi, dia ikut karna menghargai pimpinannya kala itu. imam syafii yg masih muda belia dg rambut panjangnya ini ada dlm urutan belakang. para jagoan2 mandolin di turunkan di saat itu.

Tiba2 imam syafii kaget melihat kehadiran guru besarnya imam syafii yg bernama SUTRISNO DEWA MANDOLIN BANYUWANGI. maestro mandolin yg tak ada saingannya dtg kala itu dan berbisik di telinga imam syafii bahwa dirinya ikut kontes juga. tp sang guru sudah bisa membaca air muka imam syafii yg gugup dan keluar keringat dingin karn merasa takut dan malu. apalagi yg di hadapinya itu guru besarnya sendiri yg telah mendidiknya mnjadi seorang pemain mandolin  ternama saat itu. setelah barpuluh2 peserta slsai menjalankan aksi dan tugasnya, kini tiba giliran imam syafii tampil. entah apa yg ada dlm fikirannya smpai air matanya menees kala itu. ternyata dia telah banyak mempelajari petikan dan skill2 permainan luar yg waktu itu blm pernah ada yg memiliki kaset plajaran khusus tentang permainan kolaborasi mandolin skill hindi sitar yg di kemas dan di racik oleh ramuan permainan skill dr eropa.. permainan imam syafii ternyata mengagetkan semua yg hadir kala itu termasuk para juri dan senior2 musik dan mandolin jawa timur. mereka tercengang2 dg permainan dan klenturan jemari imam syafii dan karakter yg di bawakan saat it...smpai akhirnya tak terasa para juri mengukir angka sempurna untuk seorang imam syafii bondowoso yg saat itu masih di orkes selendang delima.......

Waktu itu om awara belum lahir. yg ada hanya sinar kemala dan om.antara sby. sedangkan imam syafii masih bergabung bersama om.gavilas jember dan juga selendang delima jember. di om gavilas, dia memiliki seorang sahabat sejati yg bernama hopip.  hopip/H.chovief adalah player gendang andalan jember yg sekarang telah menjadi player tetap soneta pimp RHOMA IRAMA. 

Pada suatu hari, mereka berkumpul di jember, termasuk oma irama dan elvy sukaesih bersama2 konser keliling dari kota ke kota. mereka yg masih muda2 dg rambut gondrong panjang dan clana komprangnya telah menjadi trendy masa itu. masih belum ada namanya raja dangdut, ratu dangdut dll. yg ada hanyalah dangdut melayu. siang malam mereka berkumpul dan tiap mau mentas, mereka nge-BIR dlu. alasan mreka nge-BIR, agar tdk canggung malu di atas panggung nantinya. hal itu sudah biasa di lakukan para seniman2 dulu walaupun kini di tutupi demi menjaga nama baik dirinya tentang masa lalu dan sejarah lama. okelah..itu bisa di maklumi asalkan jgn munafik. begitulah suasana pd masa itu. namun masa itu jauh berbeda dg masa sekarang. tak ada jaman mreka dulu memakai obat2an dll, kecuali minum saja dan juga merokok serta begadang spt biasanya anak2 muda jaman dulu....

Imam syafii banyak memiliki sahabat baik yg kini tlah sukses di jalur pusat jkt di antaranya : ALWI HAZAN, HENDRO SAKY, H.CHOVIEF, alm H.POPONG JOMBANG player soneta, IDA ELISA, IDA LAILA, YULIATIN BANYUWANGI, UDIEK SUGENG, ELYA KADAM, MUSMULYADI, MUS MUJIONO, DLL.

Selain bermain musik dr orkes ke orkes dan dari panggung ke panggung, dia juga menciptakan banyak lagu termasuk lagu daerah sendiri yg sampai kini menjadi lagu kebangsaan masyarakat bondowoso. berbagai penghargaan telah di dapat kala itu sebagai wujud suatu kesuksesan atas perjuangannya di jalur seni. rata2 semua para senior2 dangdut jawa timur pasti mengenal siapa imam syafii yg kala itu masih belum di tarik ke awara. hanya saja sudah ada kabar burung bahwa dia telah di lirik oleh alm s.achmadi yg kebetulan bertemu di acara hiburan bersama om.al-ikhwan kampung arab dg seluruh personelnya adalah kaum jama'ah kecuali imam syafii seorang pemegang mandolin al-ikhwan. dia banyak di tarik di semua orkes karna kehebatannya memainkan skil2 mandolin dg karakter yg lain dr yg lain smpai banyak yg meniru cara permainannya, namun tak ada yg bisa menyamainya waktu itu.


Suatu hari hopip datang ke rumah imam syafii spt biasanya sampai bermalam dan sering menginap di rumahnya, di bondowoso. waktu itu blm ada lampu listrik, kecuali lentera kecil dari minyak tanah dg beralas tanah. walaupun dia telah kondang di mana2, namun kehidupannya tetap spt apa adanya. kalau tak ada orkesan, dia bkerja sbg pengantar ikan sapi dr jagal menju pasar tanpa harus merasa malu di lihat org karn pkerjaan itu. begitulah dia setiap harinya. kadang menjadi calo karcis di bioskop2 di depan rumahnya. dan banyak lagi pekerjaan sampingan seorang imam syafii. karna dia bukan keturunan bangsawan. dia tak pernah merasa besar dan di kenal... dia biasa saja dlm manjalani kehidupan sederhananya tiap hari. nah.. pada suatu ktika, dia mendapat surat panggilan dari teman baiknya dulu di jakarta. mungkin dia di jakarta telah berhasil atau mungkin mau mendirikan sbuah perkumpulan baru dalam orkes.

Adapun yg di panggil adalah imam syafii mandolin, hapip gendang dan popong bass.

Ketiga nya berkumpul di surabaya... namun selang beberapa wktu  kemudian, trnyata mantan pimpn orkesnya dlu selendang delima dtg mnemui imam syafii, dia berkata : " mam, kamu harus pulang skrg juga, emak mu menangis". akhirnya dia pun pulang dan membatalkan keberangkatannya ke undangan yg tak lain adalah oma irama.

Sumber : http://imamsyafiiawara.blogspot.com/

Maaf kami tidak merubah ( menambah atau mengurangi tulisan karya Mas Rona S ini )

Selasa, 06 Oktober 2020

Biografi Gus Baha' (KH. Ahmad Bahauddin Nursalim)


KELAHIRAN

KH. Ahmad Baha’uddin Nursalim atau biasa disebut dengan panggilan Gus Baha’ lahir pada 15 Maret 1970 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Gus Baha’ merupakan putra dari seorang ulama pakar al-Qur’an dan juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA yang bernama KH. Nursalim al-Hafizh dari Narukan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Ayah Gus Baha’ (KH. Nursalim) merupakan murid dari KH. Arwani al-Hafidz Kudus dan KH. Abdullah Salam al-Hafidz Kajen Pati, yang nasabnya bersambung kepada para ulama besar.

Dalam menjaga sekaligus membumikan al-Qur’an, ayah Gus Baha’ bersama dengan sahabatnya Gus Miek (KH. Hamim Jazuli) pada waktu itu beliau berdua membuat gerakan yaitu dengan menyelenggarakan semaan al-Qur’an secara keliling dari satu tempat ke tempat lain. Gerakan tersebut pada awalnya diberi nama Jantiko (Jamaah Anti Koler). Nama gerakan Jantiko kemudian mengalami perubahan menjadi Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto), lalu berubah lagi menjadi gerakan Dzikrul Ghafilin.

Dari silsilah keluarga ayah, Gus Baha’ merupakan generasi ke empat ulama-ulama ahli al-Qur'an. Sedangkan dari silsilah keluarga ibu, Gus Baha’ menjadi bagian dari keluarga besar ulama Lasem, dari Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu.

KELUARGA

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sarang, Gus Baha’ menikah dengan seorang anak Kiai yang bernama Ning Winda pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Ada cerita menarik dengan pernikahan beliau. Jadi sebelum lamaran, Gus Baha’ menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu. Beliau mengutarakan bahwa kehidupan beliau bukanlah model kehidupan yang glamor, melainkan kehidupan yang sangat sederhana.

Beliau berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berfikir ulang atas rencana pernikahan tersebut. Tentu maksud beliau agar mertuanya tidak kecewa di kemudian hari. Namun  mertuanya hanya tersenyum dan mertuanya hanya mengatakan "klop" alias sami mawon kalih kulo (sama saja dengan saya).

Kesederhanaan Gus Baha’ dibuktikan saat beliau berangkat ke Pondok Pesantren Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan waktunya. Gus Baha’ berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus kelas ekonomi.

Gus Baha’ berangkat dari Pandangan menuju Surabaya, selanjutnya disambung bus kedua menuju Pasuruan. Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil.

Setelah menikah, Gus Baha’ mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya. Gus Baha’ menetap di Yogyakarta.  Selama di Yogya, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya.

Semenjak Gus Baha’ menetap di Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan. Hingga pada akhirnya mereka menyusul Gus Baha’ ke Yogya dan urunan atau patungan untuk menyewa rumah di dekat rumah beliau. Tiada tujuan lain selain untuk tetap bisa mengaji kepada beliau.

Ada sekitar 5 atau 7 santri mutakhorijin al-Anwar maupun MGS yang ikut ke Yogya. Saat di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar rumah Gus Baha’ yang akhirnya minta ikut ngaji kepada beliau.

KEILMUAN

Gus Baha' kecil dididik belajar dan menghafalkan al-Qur'an secara langsung oleh ayahnya dengan menggunakan metode tajwid dan makhorijul huruf secara disiplin. Hal ini sesuai dengan karakteristik yang diajarkan oleh guru ayahnya yaitu KH. Arwani Kudus. Kedisiplinan tersebut membuat Gus Baha’ di usianya yang masih muda, mampu menghafalkan al-Qur'an 30 Juz beserta Qiro'ahnya.

Menginjak usia remaja, ayahnya menitipkan Gus Baha' untuk mondok dan berkhidmah kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubairdi Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang. Pondok al-Anwar tepat berada sekitar 10 KM arah timur dari rumahnya.

Di Pondok Pesantren al-Anwar inilah keilmuan Gus Baha’ mulai menonjol seperti ilmu hadits, fiqih, dan tafsir.

Dalam ilmu hadis, Gus Baha’ mampu mengkhatamkan hafalan Sahih Muslim lengkap dengan matan, rowi dan sanadnya. Selain Sahih Muslim beliau juga mengkhatamkan dan hafal isi kitab Fathul Mu'in dan kitab-kitab gramatika bahasa arab seperti 'Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik.

Bahkan menurut sebuah cerita, dengan banyaknya hafalan yang dimiliki oleh Gus Baha’, menjadikan beliau sebagai santri pertama al-Anwar yang memegang rekor hafalan terbanyak. Selain itu, menurut cerita lain juga menyebutkan bahwa, ketika akan mengadakan forum musyawarah atau batsul masa’il  di pondok banyak teman-teman Gus Baha’ yang menolak kalau Gus Baha’ untuk ikut dalam forum tersebut, sebab beliau dianggap tidak berada pada level santri pada umumnya karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan banyaknya hafalan yang dimiliki oleh beliau.

Maka, atas dasar kedalaman keilmuan yang dimiliki Gus Baha’, hal ini yang kemudian membuat Gus Baha’ diberi kepercayaan untuk menjadi Rois Fathul Mu'in dan Ketua Ma'arif di jajaran kepengurusan Pesantren al-Anwar.

Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga merupakan sosok santri yang dekat dengan kiainya. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi guru beliau Syaikhina KH. Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan. Mulai dari sekedar berbincang santai, hingga urusan mencari ta'bir dan menerima tamu-tamu ulama-ulama besar yang berkunjung ke al-Anwar. Hingga beliau dijuluki sebagai santri kesayangan Syaikhina KH. Maimoen Zubair.

Dalam sebuah cerita, beliau pernah dipanggil untuk mencarikan ta'bir tentang suatu persoalan oleh Syaikhina. Karena saking cepatnya ta'bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhina pun terharu dan ngendikan "Iyo Ha'... Koe pancen cerdas tenan" (Iya Ha'... Kamu memang benar-benar cerdas).

Gus Baha' juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhina saat memberikan mawa'izh di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal. "Santri tenan iku yo koyo Baha' iku...." (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha' itu....) begitu kurang lebih ngendikan Syaikhina.

Selain mengeyam pendidikan di Pondok Pesantren al-Anwar Rembang, pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada Gus Baha’ untuk mondok di Rushoifah atau Yaman. Namun Gus Baha’ menolaknya dan lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi'iyyah PP. al-Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.

Setelah ayahnya wafat pada tahun 2005, Gus Baha' melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di pondoknya, pondok pesantren LP3IA Narukan.


Saat menjadi pengasuh di pondoknya, banyak santri yang ada di Yogyakarta merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan. Akhirnya para santri pergi sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Yogya. Hingga pada akhirnya Gus Baha’ bersedia namun hanya satu bulan sekali.

Selain menjadi pengasuh di pondoknya dan mengisi pengajian di Yogyakarta, Gus Baha’ juga diminta untuk mengisi pengajian tafsir al-Qur'an di Bojonegoro, Jawa Timur. Adapun untuk waktunya dibagi-bagi, di Yogya minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya. Hal tersebut, Gus Baha’ lakukan secara rutin sejak 2006 hingga sekarang.

KEISTIMEWAAN

Sebagai seorang santri tulen, yang berlatar belakang pendidikan non-formal dan non-gelar, Gus Baha’ diberi keistimewaan untuk menjadi sebagai Ketua Tim Lajnah Mushaf Universitas Islam Indonesa (UII) Yogyakarta.

Gus Baha’ duduk bersama para Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur'an dari seluruh Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.

Pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa kedudukan Gus Baha’ di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai mufassir, juga sebagai mufassir faqih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam al-Qur'an.

Setiap kali lajnah menggarap tafsir dan mushaf al-Qur'an menurut Prof. Quraisy, posisi Gus Baha’ selalu di dua keahlian, yakni sebagai mufassir seperti anggota lajnah yang lain, juga sebagai Faqihul Qur'an yang mempunyai tugas khusus mengurai kandungan fiqh dalam ayat-ayat ahkam Al-Qur'an.

TELADAN

Teladan yang bisa ditiru dari Gus Baha' adalah tentang kesederhanaanya. Kesederhanaan yang dipraktikan Gus Baha’ bukan berarti keluarga Gus Baha’ adalah keluarga yang miskin, karena kalau dilihat dari silsilah lingkungan keluarganya, tiada satupun keluarganya yang miskin.

Bahkan kakek Gus Baha’ dari jalur ibu merupakan juragan tanah di desanya. Saat dikonfirmasi oleh penulis perihal kesederhanaan beliau, beliau menyatakan bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur'an yang dipegang erat oleh leluhurnya.

Ada salah satu wasiat dari ayahnya yang mengatakan agar Gus Baha' menghindari keinginan untuk menjadi manusia mulia. Hal inilah yang hingga kini mewarnai kepribadian dan kehidupan beliau sehari-hari.

KARYA-KARYA

حفظنا لهذا المصحف لبهاء الدين بن نور سالم adalah kitab yang ditulis oleh Gus Baha’. Kitab ini menjelaskan tentang rasm usmani yang dilengkapi dengan contoh dan penjelasan yang disandarkan pada kitab al-Muqni' karya Abu 'Amr Usman bin Sa'id ad-Dani (w. 444 H.). Kitab ini berguna bagi siapapun untuk mengetahui bagaimana memahami karakteristik penulisan al-Qur’an di dalam mushaf rasm usmani.

Tafsir al-Qur an versi UII dan al-Qur’an terjemahan versi UII Gus Baha' (2020). Salah satu ciri khas tafsir dan terjemahan UII yang ditulis oleh Gus Baha' dan Timnya adalah tafsir ini dikontekstualisasikan untuk membaca Indonesia dan dengan rasa Indonesia. Dan tafsir dan terjemahan UII ini sama sekali tidak merubahah dari ke aslian al-Qur’an itu sendiri.

 Sumber : https://www.laduni.id/post/read/66908