Catatan Untuk Na’im.
Na’im, adalah teman sekaligus menjadi sahabat saya. Dia kreatif ketika masih kondisi normal/biasa-biasa saja dalam arti layak dan pinter seperti pemuda pada umumnya. Bahrun na’im 33 th nama lengkapnya. Dia anak bungsu dari dua bersaudara, Yakni Abd. Rohim, 45th. kakaknya, yang bernasib sama. Yaitu sama – sama keterbelakangan mental. Naim, panggilanya, yang berwajah ganteng, lembut. Sedang kakaknya Abd. Rohim berpawakan gagah badanya kekar. Namun dua bersaudara ini sekarang sudah tidak lagi seperti dulu,
Naim kini jadi seorang pemuda yang hanya berdiam diri dirumah yang kondisi rumah saat ini sudah rapuh dan tidak terawat lagi, karena pada tahun 2012 yang lalu terkena gangguan mental yang sampai saat ini belum bisa disembuhkan. Saya pun sudah sering melakukan sesuatu yang bisa memulihkan ingatan, namun belum berhasil juga. Sedang kakaknya Abd. Rohim dalam keseharianya hanya bisa menelusuri jalan berpaping, yang sudah tidak lagi memperdulikan hujan, dingin dan teriknya panas kota Bojonegoro.
Kedua pemuda ini sebelumnya adalah anak yang kreatif. Naim yang pendiam, ramah, rajin dan murah senyum, polos yang berprofesi sebagai tukang ukir khas jepara, bahkan buah karyanya sampai Bali dan sepengetahuan saya, karyanya sampai pernah dikirim ke luar negeri. Sedangkanya Abd. Rohim kakaknya, dulu pernah sebagai tukang penjual manisan, pengamen di bis jurusan Bojonegoro – Surabaya. Dia mempunyai anak satu perempuan, namun sekarang sudah tidak jelas keberadaan anak dan istrinya tersebut.
Rohim pernah mengalami goncangan jiwa semenjak bercita-cita menjadi tentara namun gagal. Sehingga membuat keadaanya seperti sekarang.
Dalam keseharian mereka berdua ditemani seoarang Ibu yang bernama “ Maemunah” 67 th, beliau dulu sekira tahun 7oan berprofesi sebagai tukang rias pengantin jawa kuno, semenjak saya masih kecil kurang lebih 40 tahun yang lalu.
Si ibu lah yang sampai saat ini menghidupi ke dua anak tersebut. Meskipun saat ini tidak ada
pekerjaan tetap, dia tidak mempunyai sawah atau ladang. Dalam mencukupi kebutuhanya, si Ibu tidak pernah meminta, tapi masih selalu berusaha dengan mencari gedebong pisang yang dikeringkan untuk dibuat tampar lalu dijual, untuk bisa bertahan, apalagi masih dibebani dua anaknya yang belum bisa membahagiaanya sampai saat ini. Si Ibu sudah mulai renta, berbadan kurus yang harus menanggung beban hidup sendiri semenjak ditinggal suaminya kurang lebih 15 th silam. ahirnya si ibu harus tinggal menyendiri di (empokan) belakang rumah saudaranya dia bawah pohon bambu yang mengelilingi rumah tersebut. saudaranya tersebut juga seoarang janda yang sudah tua. Namun kehidupannya masih terjamin karena mempunyai tiga anak laki-laki yang masih perduli dengan nenek tersebut. Beda dengan kondisi Ibu Maemonah saat ini.
Meskipun di era sekarang setiap sudut jalan desa, rumah semuanya sudah terang, namun dalam keseharianya naim ini hidup selalu dalam gelap. Pernah dahulu dipasang listrik untuk menerangi rumahnya, tapi semuanya diambilnya memakai tangan meskipun kabel-kabel masih teraliri listrik. karena saat tersebut ia dalam kondisi tidak stabil. Naim dan kakaknya tersebut disebabkan karena cita-cita belum tercapai sehingga menjadi stres tersebut. Kalau Na'im, meskipun dalam kondisi stres dia tetap melakukan kewajibanya sebagai seorang muslim, sembahyang, puasa dan ke masjid tiap hari jum'at.