Bagaimana Caranya Bersabar?
Kutipan sebagai pengingatku.
Ukhti
Anita, saya mempunyai permasalahan dalam keluarga saya. Saya anak
pertama dan mempunyai adik wanita satu dan sejak umur 4 tahun ayah sudah
meninggal jadi ibu berjuang membesarkan kami hingga kami lulus
perguruan tinggi. Ukhti, ibu saya orangnya sangat emosional dan pemarah
begitu juga saya dan adik saya, sehingga saya kurang merasakan adanya
ketenangan di dalam rumah saya. Sampai suatu saat saya terlepas
mengatakan kata-kata kasar kepada ibu saya dan saya amat menyesalinya.
Saya ingin merasakan di rumah ini damai dan tenang, bagaimana caranya?
Bagaimana bersikap sabar kepada adik dan ibu saya?
Seringnya saya jika mereka melontarkan pernyataan yang tidak sesuai dengan kebenaran yang saya alami maka saya menjawabnya sehingga pertengkaran terjadi, apakah sikap seperti ini benar atau salah? Dan bagaimana seharusnya?
Saya mohon bantuan jawabannya...
Terima kasih,
N
Jawaban
Assalammu'alaikum wr. wb.
Ukhti N yang dimuliakan Allah,
Memang
tidak mudah menahan emosi ketika orang-orang di sekitar kita juga
sering mengumbar emosinya. Nampaknya karakter emosional yang ukhti
miliki juga dipengaruhi iklim pengasuhan ibu anda yang juga emosional.
Namun dapat dimaklumi, berjuang seorang diri membesarkan dua orang anak
tentu juga bukan kehidupan yang mudah bagi seorang ibu.
Sebagai
seorang wanita yang juga seorang ibu, saya salut dengan ibu ukhti yang
tetap seorang diri membesarkan anda dan adik tanpa ada lagi pendamping.
Terbayangkah oleh ukhti, bagaimana seorang wanita harus memeras
keringatnya di tengah kelemahan dan godaan yang mungkin selalu datang
demi membesarkan anak-anaknya dan memberikannya pendidikan terbaik
sehingga ukhti dan adik bisa sampai perguruan tinggi?
Jika
mengingat perjuangan ibu ukhti dalam membesarkan anak-anaknya, rasanya
memang tidak adil jika anak-anaknya yang sudah dewasa harus menuntut ibu
lagi memahami anak-anaknya dan merubah dirinya di usianya yang tidak
muda lagi. Dalam hal ini, sebagai anak yang sudah dewasa mungkin saatnya
membalas budi kepada ibu tercinta dalam bentuk perlakuan yang lebih
menahan diri dan emosi.
Saya tahu
perlakuan yang emosional cenderung memancing sikap yang emosional juga.
Tapi ukhti dapat menjadi pelopor untuk menjadi salah satu anggota
keluarga yang bisa merubah situasi emosional ini. Belajarlah untuk
melakukan tindakan lain selain menjawab dalam keadaan emosi meskipun
ukhti merasa benar.
Misalnya
tundalah dulu untuk bicara jika emosi tersulut, beralihlah pada tindakan
lain untuk meredakan emosi. Seperti Rasulullah menyarankan jika kita
marah maka duduklah, jika tidak bisa maka berdirilah dan berwudhu. Hal
tersebut mungkin dapat ukhti coba, bahkan ukhti bisa sholat untuk
menenangkan diri jika emosi sudah sangat memuncak.
Jika
emosi reda barulah mulai bicara dengan menyampaikan "pesan saya."
Ungkapkan perasaan ukhti kepada ibu atau adik pada sikap mereka yang
menyinggung perasaan ukhti. Tak perlu saling debat untuk menentukan
siapa yang benar karena akan kembali menyulut emosi dan kadang orang
juga butuh waktu untuk memahami kesalahannya.
Jika
sikap tersebut ukhti lakukan terus, semoga ibu dan adik juga jadi
belajar melakukan hal serupa seperti ukhti sehingga suasana emosional
dapat berkurang di rumah. Semuanya mungkin akan membutuhkan waktu,
kesabaran dan usaha. Jangan berputus asa, ukhti dapat jadi pelopor
sebagai orang yang cerdas emosi di rumah. Dan ketahuilah itu merupakan
hadiah terindah bagi seorang ibu memiliki anak yang cerdas emosional,
meski dia membesarkannya dengan segala kelemahannya.
wallahu'alambishshawab.
Wassalammu'alaikum wr. wb.
Sumber :
Sumber :
Rr. Anita W.