A. Latar Belakang Keluarga
Pada umumnya, seorang Kiai itu merupakan keturunan dari keluarga Kiai baik itu keturunan dekat maupun keturunan jauh. Dari unsur keturunan itu, manusia dapat mencapai derajat yang lebih tinggi dan menjadi ulama yang besar. Akan tetapi tidak semua anggapan tersebut benar, karena seseorang yang bukan dari keturunan kiai pun bisa menjadi Kiai asal memiliki ilmu pengetahuan agama Islam yang tinggi.
Begitulah yang terjadi pada sosok KH. Muhammad Sholeh, yang merupakan salah satu Kiai besar yang bukan berasal dari keluarga Kiai dan bahkan tidak memiliki keturunan Kiai.
KH. Muhammad Sholeh adalah kiai sekaligus ulama dari desa Talun, Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro. Pendiri
dan pengasuh pondok pesantren ini dikenal oleh masyarakat
sebagai orang yang alim, tawadhu’ dan bersahaja. Kepribadian yang
tercermin dari dirinya inilah yang membuat beliau menjadi sosok ulama’ yang
dita’zimi oleh setiap orang yang pernah bertemu dengannya.22
Muhammad Sholeh adalah putra kedua dari sembilan bersaudara yang lahir dari pasangan suami istri syarqowi bin syuro dan
kuning. Beliau lahir pada 20 pebruari 1902 M. Kesembilan bersaudara
tersebut adalah Ya’qub, Muhammad Sholeh, Siti Khatimah, Syamsuri, Khusnan, Thohiroh, Muslih, Ummi Kultsum, dan Mukri.23 Dari kesembilan
anak tersebut, KH. Muhammad Sholehlah yang paling menonjol
diantara saudara yang lainnya. Beliau diberi nama Sholeh, dengan nama
itu diharapkan semoga akhirnya menjadi orang shaleh, berbakti
pada orang tua, berguna bagi masyarakat dan agama.24 Sejak usia 10 tahun, Muhammad Sholeh dan Syamsuri diminta oleh pamannya yang bernama haji Idris, haji Idris adalah
adik dari Syarqowi, karena waktu itu haji Idris dan Mursiah istrinya tidak mempunyai anak, maka Muhammad Sholeh dan Syamsuri diasuh sekaligus dijadikan sebagai anak angkatnya.25 Sejak saat itu
pula
Muhammad Sholeh mulai belajar membaca al-Qur’an.26 Menginjak usia 12 tahun tepatnya pada tahun 1914 Muhammad Sholeh belajar kepada kiai Umar, yang waktu itu menjabat
sebagai naib di Sumberrejo. Pada tahun berikutnya 1915 Muhammad Sholeh
meneruskan belajarnya dengan mondok di Kendal Dander, di pondok
pesantren yang di asuh oleh kiai Basyir dan kiai Abu Dzarrin, selama kurang
lebih delapan bulan.
Pada tahun 1916, Muhammad Sholeh pindah ke Madrasatul ‘Ulum di Bojonegoro selama kurang lebih empat tahun, di kawasan
Masjid Besar yang juga diasuh oleh kiai Basyir Kendal yang waktu itu
harus pindah ke Bojonegoro karena di angkat menjadi penghulu hakim oleh
pemerintah. Di Madrasatul ‘Ulum tersebut Muhammad Sholeh belajar ilmu fiqih
dengan mengkaji kitab-kitab seperti: sullam taufiq, fathul qorib,
dan fathul mu’in, serta ilmu nahwu dengan mengkaji kitab-kitab seperti:
al-Jurumiyah hingga Alfiyah dan tidak ketinggalan pula ilmu shorof dan
lain-lainnya.
Selama belajar disana beliau setiap hari pulang pergi dengan
naik kereta. Selain itu Muhammad Sholeh juga sempat belajar pada kiai
Kholil Bangkalan Madura.
Selanjutnya pada tahun 1921, Muhammad Sholeh melanjutkanbelajarnya dengan mondok di Maskumambang Dukuh Gresik, di
pesantren yang diasuh oleh kiai haji Faqih bin kiai haji Abdul Jabar.
Pada tahun 1923, saat berusia 21 tahun beliau menunaikan ibadah haji
yang pertama dan berencana mondok di Makkah selama dua tahun. Namun, baru delapan bulan disana ternyata ada hambatan. Kota Makkah yang
sewaktu itu dipimpin oleh Syarif Husain, mendapat serangan dari raja
Saud.
Akhirnya Muhammad Sholeh pun kembali ke Jawa, dan meneruskan mondok di Maskumambang Gresik. Pada pertengahan tahun 1924,
beliau diambil menantu oleh kiai haji Faqih, untuk dinikahkan
dengan keponakannya sendiri, Rohimah binti kiai haji Ali. Setelah
menikah, pada tahun 1927 Muhammad Sholeh dan istrinya pulang ke Talun.
Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua orang anak, yaitu
Sahal Soleh dan Anisah.
Meski sudah dipersiapkan tempat untuk mengajar tapi sepulang dari pondok pada tahun 1927 haji Muhammad Sholeh tidak
langsung mengajar sebab beliau diserahi oleh haji Idris (ayah angkat
beliau) untuk membantu mengatur dan mengurusi rumah tangga haji Idris.
Karena waktu itu haji Idris mengalami musibah sakit mata sampai tidak
bisa melihat (buta). Waktu itu haji Muhammad Sholeh belum berpengalaman
dalam mengurusi rumah tangga, juga belum punya pekerjaan sekaligus
harus memikul beban tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Pada tahun1933 setelah kehidupan rumah tangga dan kehidupan keluarga tertata, maka haji Muhammad Sholeh dengan penuh
percaya diri disertai ikhtiar sepenuh hati dan sekuat tenaga serta
permohonan pertolongan Allah SWT, mulai memikirkan dan merintis
kegiatan mengajar anak-anak dan bertempat di mushalla. Mulai dari baca
al-qur’an, tulis menulis arab, cara beribadah yang memenuhi syarat dan
rukun, dan sebagainya yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat
ashar hingga ba’da shalat isya’. Kegiatan ini beliau lakukan seorang diri
dengan penuh keuletan, ketlatenan, kesabaran dan keikhlasan. Selain aktif
mengajar, sehari-hari beliau juga berdagang dengan membeli tanah dan
mendirikan toko disebelah barat sungai Talun. Di toko tersebut haji
Muhammad Sholeh menjual palawija, tikar, serta barang-barang
kebutuhan masyarakat yang beliau beli dari pasar sumberrejo. Jadi setiap pagi
beliau berjualan, sementara siang dan malam harinya mengajar di pesantren.32
Kiai haji Muhammad Sholeh dalam kesehariannya termasuk orang yang tidak banyak bicara, ramah, suka menolong keilmuannya
tinggi dan di hormati orang. Beliau mempunyai prinsip harus berbuat
baik pada orang lain dan tidak mau mempunyai musuh. “Nek pengen
diapik’i wong yo kudu ngapik’i wong” (kalau ingin orang lain berbuat baik
pada kita, kita juga harus berbuat baik pada orang lain). Itulah salah
satu dari prinsip yang beliau pegang dan diantara pesan beliau pada
santri-santrinya. Kiai haji Muhammad Sholeh juga rutin dalam mengimami sholat
fardhu lima waktu setiap harinya. Bahkan sampai usia senja pun beliau
masih tetap aktif. Kiai haji Muhammad Sholeh juga tidak pernah ikut
thariqat. Karena bagi beliau mengajar itu sudah termasuk thariqat.34 Beliau
juga tidak suka membedakan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat,
tidak melarang orang punya jabatan, yang terpenting bisa diarahkan
kepada kepentingan akhirat.
Pada tanggal 20 Januari 1934, istri kiai haji Muhammad
Sholeh, nyai Rohimah meninggal dunia di Talun dan dimakamkan di
dusun Sidayu Gresik. Saat itu anak keduanya, Anisah, baru berusia 16
bulan. Beberapa tahun setelah ditinggal wafat istrinya, kiai haji Muhammad
Sholeh menikah lagi dengan Mukhlisoh (janda kiai haji Mahbub), ibu
dari haji Badawi, Jombang. Pada tahun 1976 kiai haji Muhammad Sholeh menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kalinya disertai
nyai Mukhlisoh. Namun pernikahan kedua ini belum sampai
dikaruniai anak karena nyai Mukhlisoh terkena sakit dan akhirnya wafat pada
18 Pebruari 1992, tak lama kemudian pada tanggal 26 Juni 1992, kiai haji
Muhammad Sholeh juga menyusul wafat.35 Beliau dimakamkan bersebelahan
dengan dengan istrinya Nyai Mukhlisoh. Suasana duka, sedih dan
tangis menyelimuti kediaman beliau dan seluruh keluarga besar
pondok pesantren At-Tanwir serta masyarakat talun pada umumnya.
Sosok yang dikagumi kini telah pergi untuk selama-lamanya. Meskipun
demikian, KH. Muhammad Sholeh akan senantiasa ada didalam hati para santri
dan menjadi panutan para santri yang pernah belajar dengan
beliau. Segala tingkah laku yang beliau cerminkan dalam kehidupan
sehari-hari patut dijadikan inspirasi bagi setiap orang yang pernah
mengenalnya.
KH. Muhammad Sholeh adalah sosok suri tauladan yang baik dan menginspirasi baik keluarga besarnya, santri At-Tanwir, dan
terlebih lagi bagi masyarakat desa Talun itu sendiri.
B. Karir Pendidikan
Pendidikan adalah faktor dominan sebagai pembentuk pribadi seseorang. Dengan pendidikan yang baik maka akan tumbuh
pribadi yang baik pula. Pendidikan yang telah dilalui oleh seseorang akan mempengaruhi kepribadian orang tersebut. Seorang anak kecil
akan memulai pembelajaran dari orang tuanya dulu baru setelah
menginjak masa kanak-kanak dan remaja mereka belajar banyak hal baik
dari orang tua, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan belajar
pula dengan seorang guru. Seperti disebutkan diatas dalam bidang pendidikan kiai haji
Muhammad Sholeh sejak kecil (umur 10 tahun) sudah mulai di
ajari oleh ayah angkatnya haji Idris belajar membaca al-Quran serta
ilmu agama terutama bagaimana Islam mengatur kehidupan sehari-hari
manusia. Hal ini tentu berkaitan dengan ajaran kemanusiaan, moral, dan
budipekerti.
Menginjak usia remaja tepatnya pada tahun 1914 kiai haji Muhammad Sholeh semakin menunjukkan minat dan bakat serta ketertarikannya terhadap ilmu agama. Kehausan beliau tentang
ilmu agama membuat beliau belajar kepada kiai Umar, yang waktu
itu menjabat sebagai naib di Sumberrejo.
Dirasa sudah cukup belajar dengan kiai Umar, pada tahun berikutnya tepatnya tahun 1915 beliau meneruskan belajarnya
dengan mondok di Kendal Dander, di pondok pesantren yang waktu itu
di asuh oleh kiai Basyir dan kiai Abu Dzarrin. Beliau mondok di
pesantren tersebut selama kurang lebih delapan bulan.
Pada tahun 1916, Muhammad Sholeh pindah ke Madrasatul ‘Ulum di Bojonegoro selama kurang lebih empat tahun, di kawasan
Masjid Besar yang juga diasuh oleh kiai Basyir Kendal yang waktu itu
harus pindah ke Bojonegoro karena di angkat menjadi penghulu hakim oleh
pemerintah. Di Madrasatul ‘Ulum tersebut Muhammad Sholeh belajar ilmu fiqih
dengan mengkaji kitab-kitab seperti: sullam taufiq, fathul qorib,
dan fathul mu’in, serta ilmu nahwu dengan mengkaji kitab-kitab seperti:
al-Jurumiyah hingga Alfiyah dan tidak ketinggalan pula ilmu shorof dan
lain-lainnya.
Selama belajar disana beliau setiap hari pulang pergi dengan
naik kereta. Selain itu menurut keterangan dari keluarga kiai haji
Muhammad Sholeh juga sempat belajar pada kiai Kholil Bangkalan Madura. Selanjutnya pada tahun 1921, kiai haji Muhammad Sholeh melanjutkan belajarnya dengan mondok di Maskumambang Dukuh Gresik, di pesantren yang diasuh oleh kiai haji Faqih bin
kiai haji Abdul Jabar. Beliau juga pernah belajar di Makkah, Namun kiai haji
Muhammad Sholeh belajar disana hanya sekitar 8 bulan, karena situasi
di Makkah sudah tidak kondusif akhirnya beliau pulang ke tanah air dan
kembali mondok di Maskumambang Gresik. Setelah dirasa cukup belajar dari beberapa guru di pondok
tersebut. Serta setelah kehidupan rumah tangganya tertata. Tepatnya
pada tahun 1933 kiai haji Muhammad Sholeh mulai mengamalkan ilmunya
dengan mengajar anak-anak di Mushalla. Pada tahun itupula dikenang
sampai saat ini sebagai tahun berdirinya Pondok Pesantren At-Tanwir.37
Setelah berhasil mendirikan pondok pesantren At-Tanwir kiai
haji Muhammad Sholeh tidak berhenti belajar. Beliau aktif
mengikuti beberapa perkembangan informasi seperti siaran radio dari luar
negeri, seperti: ABC Australia, BBC London, VOA amerika untuk mendapatkan
beberapa informasi.
Selain itu kiai haji Muhammad Sholeh juga terus mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan sampai akhir hayatnya.
Setiap harinya beliau terus tekun belajar dengan banyak membaca kitab-kitab
karangan ulama besar ternama sebelum beliau. Kemudian dari hasil
membaca tersebut beliau rangkum menjadi sebuah risalah atau
kitab-kitab yang bisa kita baca dan ambil manfaatnya sampai saat ini.
C. Karir Organisasi
Dalam hal berorganisasi ada beberapa kegiatan organisasi
yang pernah kiai haji Muhammad Sholeh ikuti diantaranya: Pada masa Indonesia masih di kuasai Jepang, pada tahun 1943,
kiai haji Muhammad Sholeh mengikuti Musyawarah Besar Alim Ulama’
sejawa di Jakarta. Pada tahun 1946, setelah Indonesia merdeka (zaman Revolusi), kiai haji Muhammad Sholeh terpilih menjadi Camat (Asisten
Wedono) Sumberrejo yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
perwakilan partai politik yang ada di setiap desa dalam wilayah
kecamatan yang bersangkutan. Pada masa itu wilayah kecamatan Sumberrejo
terdapat tiga partai politik besar yaitu: Parta Nasional Indonesia (PNI),
Partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), dan Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Dalam pencalonan camat Sumberrejo waktu itu muncul dua calon yaitu: kiai haji Muhammad Sholeh dari Partai Masyumi dan
Soejito dari PKI. Dari hasil pemilihan ternyata kiai haji Muhammad Sholeh memperoleh suara terbanyak, meraih kemenangan mengalahkan
calon dari PKI. Dengan demikian, maka kiai haji Muhammad Sholeh
diangkat menjadi camat Sumberrejo pada tahun 1946. Namun jabatan
tersebut hanya beliau pegang selama dua tahun. Beliau mengajukan
permohonan berhenti sebagai camat dan permohonan beliau dikabulkan,
dengan alasan sangat berat meninggalkan tanggung jawab sebagai guru agama
di pesantren.
Maka pada tahun 1948 diberhentikan dengan hormat dan
mendapat tanda penghargaan. Beliau juga pernah menjadi anggota
Mukhtasyar Nahdlatul Ulama’ Cabang Bojonegoro, sebagai bendahara Partai
Masyumi anak Cabang Sumberrejo.
D. Karya-Karyanya
KH. Muhammad Sholeh dikenal sebagai pribadi yang aktif. Di sela-sela aktifitas keseharian beliau yang begitu padat,
beliau selalu menyempatkan diri pada waktu luangnya untuk membaca. Buku
yang beliau baca kebanyakan adalah kitab-kitab yang telah ditulis
oleh ulama sebelumnya. Beliau melakukan kegiatan membaca buku atau
kitab-kitab dimalam hari, setelah memberikan tausiyah dan belajar
al-Qur’an dengan para santri. Kegemaran membaca inilah yang akhirnya
mengantarkan beliau menjadi penulis. Dari ilmu-ilmu yang beliau peroleh
dari belajar, membaca kitab, beliau menulis dan mengarang. Hingga akhirnya
menjadi risalah atau kitab-kitab yang bisa kita baca dan kita
pelajari hingga saat ini. Kitab/risalah yang beliau karang pada saat itu, menjadi
acuan dalam pembelajaran di Pondok Pesantren At-Tanwir. Kitab-kitab
tersebut setiap malam dikaji oleh para santri dengan didampingi pengasuh
pondok pesantren At-Tanwir yang sekarang yaitu KH. Fuad Sahal yang merupakan cucu KH. Muhammad Sholeh.
Diantara kitab-kitab yang telah beliau susun adalah:
Risalatu Zadi
al-Muta’allimi, Risalatu Hujjati al-Mu’minin fi
al-Tawassuli, Risalatu alShafiyah fi al-Masail al-Fiqhiyah, Risalatu al-Solawat
‘ala Sayyidi alShadad, Risalatu Shu’aybi al-Iman, Risalatu Nazomi Jauwhari
al-adab, Risalatu Khulqi al-Kirom Wa Shifa’i al-‘Ajsami, Risalatu
al-Tadhkiroti, Fathu al-Jalil fi Fadoil al-Dhikri Wa al-Tahlil, Naylu
al-Surur fi ba’di Fado’ili al-Shuhur, Risalatu Mudhakaroti Khutbati al-‘Idi.
Dan masih banyak lagi tulisan beliau yang belum terpublikasikan. Karena keterbatasan peneliti, dari beberapa karya tulis kiai
haji Muhammad Sholeh tersebut peneliti hanya akan menjelaskan
beberapa karya tulis beliau yang dapat diperoleh dan dipahami oleh
peneliti,
diantaranya:
1. Al-Risalatu al-Shafiyah fi al-Masa’il al-Fiqhiyah
Suatu kitab yang selesai beliau susun pada tahun 1396
Hijriah (1975 Masehi). Kitab ini merupakan kumpulan dari
pertanyaanpertanyaan masyarakat kala itu kepada beliau kemudian
pertanyaanpertanyaan tersebut beliau tulis serta jawab, dan dari tulisan dan jawabannya tersebut kemudian dikumpulkan menjadi satu hingga menjadi kitab ini. Dalam kitab ini dibahas tentang masalah-masalah syari’at
atau fiqh yang terjadi di masyarakat pada waktu itu. Diantaranya
tentang bagaimana hukum sholat jum’at orang yang tidak berkewajiban
sholat jum’at, boleh tidak menyolati jenazah dikuburannya,
bagaimana hukum menyolati orang yang mati karena bunuh diri, dan lain sebagainya. Dalam menjawab masalah-masalah tersebut beliau
selalu mencantumkan hadist serta kitab yang beliau jadikan acuan.
2. Risalatu Khulqi al-Kirom Wa Shifa’i al-‘Ajsami
Suatu kitab yang selesai beliau susun pada tahun 1406
Hijriah (1985 Masehi). Dalam kitab ini beliau menjelaskan tentang
sebagian dari beberapa budi pekerti luhur yang pada masa-masa ini
tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum. Beliau mengambil dari
beberapa kitab karangan para ulama’ sebelum beliau serta
hadist-hadist yang pernah beliau baca dan pelajari.
Selain membahas tentang beberapa budi pekerti yang luhur seperti tersebut diatas, dalam kitab ini juga menjelaskan
tentang tata cara ruqyah syar’iyah serta dalil hukum yang membolehkan dan
mengharamkan melakukannya.
3. Naylu al-Surur fi Ba’di Fado’ili al-Shuhur
Suatu kitab yang selesai beliau susun pada tahun 1409
Hijriah (1988 Masehi). Dalam kitab ini beliau menerangkan tentang
fadiylahfadiylah/faedah-faedah bulan-bulan tertentu seperti bulan Muharram, bulan Rajab, bulan Sha’ban, bulan Ramadhan, bulan Shawal,
dan bulan Dhilhijjah serta amalan-amalan yang baik atau sunnah
dilakukan pada bulan-bulan tersebut.
Dalam menyusun kitab ini beliau mengambil dari beberapa
kitab karangan para ulama’ sebelum beliau serta hadist-hadist yang
pernah beliau baca dan pelajari. Kemudian beliau mencatumkan kitab
serta hadis-hadist tersebut dalam karya ini.
4. Fathu al-Jalil fi Fadoili al-Dhikri Wa al-Tahlil
Suatu kitab yang selesai beliau susun pada tahun 1409
Hijriah (1988 Masehi). Dalam kitab ini beliau menjelaskan tentang
dalil-dalil mengamalkan tahlil- dan dhikir. Selain itu juga dijelaskan
manfaatmanfaat yang bisa diperoleh ketika mengamalkannya. Dalil-dalil yang beliau cantumkan dalam kitab ini berupa hadist-hadist serta
beberapa kitab yang dikarang oleh ulama sebelum beliau, seperti kitab
Bulughul al-Marom, al-Jaami’ al-Soghir, dan lain sebagainya
Sumber : http://digilib.uinsby.ac.id
Biografi KH. Mohammad Sholeh